A. Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian belajar,
diantaranya :
Howard L. Kingsley dalam Dantes (1997)
mengemukakan bahwa 'belajar adalah suatu proses bukan produk. Proses dimana
sifat dan tingkah laku ditimbulkan dan diubah melalui praktek dan latihan‟.
a. Hilgard dalam Nasution (1997:35) mengatakan
bahwa belajar adalah „proses melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan yang dibedakan dari perubahan-perubahan oleh factor-faktor yang tidak termasuk latihan‟.
bahwa belajar adalah „proses melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan yang dibedakan dari perubahan-perubahan oleh factor-faktor yang tidak termasuk latihan‟.
b. Jauhari (2000:75) mengatakan bahwa belajar
adalah „proses untuk memperoleh perubahan yang dilakukan secara sadar, aktif,
dinamis, sistematis, berkesinambungan, integrativ dan tujuan yang jelas‟.
c. Fontana
dalam Khoir (1991) memusatkan belajar dalam tiga hal, yaitu belajar adalah
mengubah tingkah laku, perubahan adalah hasil dari pengalaman, dan perubahan
terjadi dalam perilaku individu.
Jadi, pada hakekatnya belajar adalah segala
proses atau uasaha yang dilakukan secara sadar, sengaja, aktif, sistematis dan
integrativ untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam dirinya menuju kearah
kesempurnaan hidup.
Skinner dalam Syamsudin (2000) berpendapat
bahwa proses belajar melibatkan tiga tahapan yaitu adanya rangsangan, lahirnya
perilaku dan adanya penguatan. Munsterberg dan Taylor dalam Nasution (2000:50)
mengadakan penelitian ilmiah tentang cara-cara belajar yang baik, dari 517 cara
belajar yang baik, ada beberapa point yang sangat penting, diantaranya :
a. Keadaan jasmani yang sehat
b. Keadaan sosial dan ekonomi yang stabil
c. Keadaan mental yang optimis
d. Menggunakan waktu yang sebaik-baiknya
e. Membuat catatan
Dalam menuju kesempurnaan hidup, belajar tidak
lepas dari keseluruhan aspek pribadi manusia. Ada beberapa macam-macam
aktifitas dalam belajar yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.
Menggunakan
panca indra untuk mengindra dan mengamati yang merupakan kegiatan belajar yang
paling mendasar dan telah dilakukan sejak awal kehidupan manusia.
b.
Membaca
merupakan kegiatan belajar yang paling penting dan utama dalam belajar.
c.
Mencatat
dan menulis point-point penting dari yang telah diamati dan dibaca sangat
diperlukan untuk memperkuat ingatan dan mudah direproduksi kembali.
d.
Mengingat dan menghafal adalah cara mudah
untuk menyimpan kesan-kesan dalam memori.
e.
Berfikir
dan berimajinasi akan mampu melahirkan banyak karya yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
f.
Bertanya
dan berkonsultasi tentang sesuatu yang belum diketahui merupakan kegiatan
belajar yang harus dibiasakan.
g.
Latihan
dan mempraktekan sesuatu yang telah dipelajari akan mampu menciptakan perubahan
dalam dirinya.
h.
Menghayati
pengalaman, karena pengalaman adalah guru terbaik.
Belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakukan melalui pengalaman. (leaming is defined as themodifkation
or strengthening of behavior through experincing).
Menurut
pengertian ini, belajar adalah merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan
suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas
daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil
latihan, melainkan perubahan kelakuan.
Pengertian ini
sangat berbeda dengan pengertian lain tentang belajar, yang mengatakan bahwa
belajar adalah memperoleh pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan
pembentukan kebiasaan secara otomatis, dan seterusnya.
Sejalan dengan
perumusan diatas, ada pula tafsisan lain tentang belajar, yang menyatakan bahwa
belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi
dengan lingkungan.
Dibandingkan
dengan pengertian pertama, maka jelas, tujuan belajar itu prinsipnya sama,
yakni perubahan tingkah laku, hanya berbeda cara atau usaha pencapaiannya.
Pengeritan ini menitik beratkan pada interaksi antara individu dengan
lingkungan. Di dalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman belajar.
William Burton mengemukakan bahwa : A good leaming situation consist of a rkh
and baried series of leaming experiences unified around a vigorous purpose, and
carried on in interaction with a rkh, varried and provocative environment.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa :
a. Situasi belajar harus bertujuan
dan tujuan-tujuan itu diterima baik oleh masyarakat. Tujuan merupakan salah
satu aspek dari belajar.
b. Tujuan dan maksud belajar timbul
dari kehidupan anak sendiri.
c. Di dalam mencapai tujuan itu,
siswa senantiasa akan menemui kesulitan, rintangan-rintangan dan
situasi-situasi yang tidak menyenangkan.
d. Hasil belajar yang utama adalah
pola tingkah laku yang bulat.
e. Proses belajar terutama
mengerjakan hal-hal yang sebenamya. Belajar apa yang diperbuat dan mengerjakan
apa yang dipelajari.
f. Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil
belar dipersatukan dan dihubungkan dengan tujuan dalam situasi belajar.
g. Siswa memberikan reaksi secara
keseluruhan.
h. Siswa mereaksi sesuatu aspek dari
lingkungan yang bermakna baginya.
i. Siswa diarahkan dan dibantu oleh
orang-orang yang berada dalam lingkungan itu.
j. Siswa diarahkan ke tujuan-tujuan
lain, baik yang berkaitan maupun yang tidak
berkaitan dengan tujuan utama dalam situasi belajar.
Teori belajar
selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu. Dengan
berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka berbarengan dengan itu
bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Justru dapat dikatakan, bahwa
dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar, maka psikologi dalam pendidikan
menjadi berkembang secara pesat. Di dalam masa perkembangan psikologi
pendidikan di jaman mutakhir ini muncullah secara beruntun aliran psikologi
pendidikan masing-masing yaitu :
- Psikologi behavioristik
- Psikologi kognitif
- Psikologi humanistik
Ketiga aliran
psikologi pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara beruntun, dari
periode ke periode berikutnya. Dalam setiap periode perkembangan aliran
psikologi tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar. Bertolak dari
kenyataan itu, maka berbagai teori belajar yang ada dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok teori belajar, masing-masing yaitu :
- Teori-teori belajar dari psikologi
behavioristik.
- Teori-teori belajar dari psikologi
kognitif
- Teori-teori belajar dari psikologi
humanistik.
Para penulis buku psikologi
belajar, umumnya mendefinisikan belajar sbagai suatu perubahan tingkah laku
dalam diri seseorang yang relatif menetap sebagai hasil dari sebuah pengalaman.
Selain itu, ahli-ahli psikologi mempunyai pandangan yang berada mengenai apa
belajar itu. Dalam pandangan psikologis, setidak-tidaknya ada empat pandangan mengenai
belajar.
Pertama, pandangan yang berasal
dari aliran psikologi behavioristik. Menurut pandangan ini, belajar
dilaksanakan dengan kontrol instrumental dari lingkungan. Guru mengkondisikan
sedemikian sehingga pembelajar atau siswa mau belajar. Mengajar dengan demikian
dilaksanakan dengan kondisioning, pembiasaan, peniruan. Hadian dan hukuman
sering ditawarkan dalam mengajar dan belajar demikian. Kedaulatan guru dalam
belajar demikian relatif tinggi, sementara kedaulatan siswa sebalikya, relatif
rendah.
Kedua, pandangan yang berasal dari
psikologi humanistik. Pandangan humanistik ini merupakan anti tesa pandangan
behavioristik. Dalam pandangan demikian, belajar dapat dilakukan sendiri oleh
siswa. Dalam belajar demikian siswa senantiasa menemukan sendiri mengenai
sesuatu tanpa banyak campur tangan dari guru. Peranan guru dalam mengajar dan
belajar demikian relatif rendah, sementara kedaulatan guru relatif rendah.
Ketiga, pandangan yang berasal
dari psikologi kognitif. Pandangan ini merupakan konvergensi dari pandangan
behavioristik dan humanistik. Menurut pandangan demikian belajar merupakan
perpaduan dari usaha pribadi dengan kontrol instrumental yang berasal dari
lingkungan. Oleh karena itu, metode belajar yang cocok dalam pandangan ini
adalah eksperimentasi.
Selain ketiga pandangan tersebut,
ada pandangank eem p a t dari psikologi gestalt. Menurut pandangan psikologi
gestalt, belajar adalah usaha yang bersifat totalitas dari individu, oleh
karena totalitas lebih bermakna dibandingkan dengan sebagian-sebagian.
B. Model Model Pembelajaran
Model-model belajar yang dimaksut
adalah cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas
ataupun dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang
lebih tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita
semua) dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif.
Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:
1. Peta Pikiran
Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja
mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu
hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak
parsial terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat
lengkap. Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri,
maka akan terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir
bajay, kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan
lain-lain dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran
kita terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya,
pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk
perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta
pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan ada
perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.
Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu
materi dalam pelajaran Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan
buat (tulis-gambar) peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara
lisan. Tulisan atau gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep
(concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar
siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas
berupa pikiran. Yang produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan
efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep,
sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada
yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya
bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam
pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar dengan
menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa yang
digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian guru dalam
pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep, guru
membumbuinya dengan narasi yang kreatif.
Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak
manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata
permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan
komputer sangat tinggi. Jika benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap
kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya
sayang banyak orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang
kurang bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan,
menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.
2. Kecerdasan Ganda
Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai
instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri
dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual
mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan
kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan
mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran
akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau lamunan,
inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru minasy-syaithon).
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan
terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan
relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan,
senyum-tertawa, suasana nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan
dengan prinsip kepasrahan kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak
kiri semestinya dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat
kecerdasan yang sif`tnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal,
realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan
berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional,
kesadaran diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa
kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20%
sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40% dipengaruhi
oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006)
mengukakan kecerdasan ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan)
atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama.
Sebagai orang beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan
ini, bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan
harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan
beragama ini.
Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda
yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual ,
Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural,
Body-kinestic, Intrapersonal-reflective, Logic-thinking-reasoning.
3. Metakognitif
Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara
bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan
bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali
apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran
terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa
metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain
yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan,
tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas,
pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002)
mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu,
monitoring, dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew
ada 7, yaitu: refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan,
bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen
metakognitif, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif
tinggi karena memuat unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal
bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu
pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan
metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.
4. Komunikasi
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi
antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan
komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang
bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi
positif dan ada pula yang berkpribadian negatif.
Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992),
untuk kita simak dan renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural,
setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari
oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak
yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan,
ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih
dominant dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya
terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi
penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak
selanjutnya pada waktu bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya
dirinya berkurang. Makin lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative,
seperti pesimis, m\udah menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran,
menimpakan kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang
memiliki pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan
memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa
yang berkepribadian negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan
karena profesi guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola
pribadi seperti irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana
“saya ….” bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan
citra positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non
verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa
demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan
rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.
5. Kebermaknaan Belajar
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan)
semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar
dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya,
menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang
berarti bahwa belajar mempunya indikator berkata-pok
(bertanya-menjawab-diskusi,presentasi). Mencoba-pek (menyelidiki,
meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan, menemukan), dan melaksanakan-prak
(mengaplikasikan, menggunakan, memanfaatkan, mengembangkan). Tokoh pendidikan
nasional Ki Hajar Dewantoro (1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing
ngarso sung tulodo (jadi pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing
madyo mangun karso (dalam pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas
sehingga kompetensi siswa terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator
kegiatan siswa dalam mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi
mandiri). Dengan perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk
pelaksanaan kurikulum 2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal
(1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar.
Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar
20%, dari melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunikasi
mencapai 70 %, da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai
90%.
Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran
adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara
optimal, tidak cukuop dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan
hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).
6. Konstruksivisme
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan
persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi,
mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri
dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan.
Sehingga jenis komunikasi yang dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat
transmisi sehingga menimbulkan imposisi (pembebanan), melainkan lebih bersifat
negosiasi sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut
wuri handayani) sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan
dan opengalaman yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa
membangun sendiri konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui
pemberitahuan oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau
aturan yang telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya.
Mungkin saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya
berbeda, atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan
bantuan dan arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan
siswa merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya
ia sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas
pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam
pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme,
karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif
dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara
optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull
constructivism), yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan,
refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak
lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).
7. Prinsip Belajar Aktif
Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan
secara reaktif (pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada
setiap situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya
terlaksana, dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif
indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart, mengabaikan
kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian
kegiatan pembelajaran di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan
adalah siswa harus sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomunikasikan
sehingga kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan
sosialisasi, empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja
individual-kelompok,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa
tanggung jawab dan disiplin diri.
Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991)
adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic
(terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pngelaman induktif-deduktif),
dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan
terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan
intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri,
melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar